Bahaya Fatwa Serampangan
BAHAYA FATWA SERAMPANGAN
Oleh
Syaikh Dr. Shâlih bin Sa’d as-Suhaimi:
Pengantar
Dalam pertemuan bebas, Kamis malam 12 Rajab 1428 H/26 Juli 2007 M, pada Daurah Syar’iyah VII di Lawang, Malang, Jawa Timur, yang diselenggarakan Ma’had ‘Ali al-Irsyad as-Salafi Surabaya, antara tanggal 8 – 15 Rajab 1428 H/23 – 30 Juli 2007, Syaikh Dr. Shâlih as-Suhaimi sebelum membuka pertanyaan bebas, mengawali dengan menyampaikan beberapa patah kata tentang fatwa serampangan.
Materi naskah ini ditranskip dan diterjemahkan dengan bahasa bebas, dan ada beberapa hal yang diringkas oleh Ustadz Ahmas Faiz ‘Asifuddin. Silahkan menyimak., dan semoga bermanfaat. (Redaksi).
بسـم الله الرحمـن الرحيـم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه و نستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا و سيئات أعمالنا ، من يهد الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ، صلى الله وسلم و بارك عليه و على آله وأصحابه أجمعين.
Pembicaraan hari ini mengenai persoalan penting, yaitu tentang fatwa. Betapa penting engkau memahami tentang fatwa. Mengapa? Sebab sebagian orang begitu mudah dalam berfawa. Tidaklah menyesatkan banyak orang, kecuali para tukang fatwa yang berfatwa dengan tidak berdasarkan ilmu. Sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Di antara peringatan untuk tidak serampangan dan berfatwa dan tidak berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, juga mengharamkan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (juga mengharamkan) jika kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) jika kamu mengada-adakan perkataan atas nama Allah apa yang kamu tidak mengetahui”. [al-A’râf/7:33].
Juga firman-Nya:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. [al-Isrâ`/17:36].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا﴿٧٠﴾يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [al-Ahzâb/33:70-71].
Sementara itu, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela sangkaan-sangkaan. Dan fatwa tanpa ilmu termasuk sangkaan dusta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. [an-Najm/53:23].
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. [Shâd/38:26].
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (sesembahan)nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. [al-Jâtsiyah/45:23].
Sesungguhnya ada sebagian orang bodoh yang memaksakan diri menempuh jalur fatwa tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa dasar Kitabullah yang terang. Akibatnya para tukang fatwa itu menjadi salah satu di antara dua golongan : golongan yang berlebihan (ekstrim) dan golongan yang memudah-mudahkan urusan.
Maka (dari golongan yang memudah-mudahkan urusan) ada yang berfatwa menghalalkan beberapa perkara yang diharamkan dan bertoleransi membuang beberapa prinsip dengan dalih menyenangkan orang-orang Yahudi dan Nasrani. (Padahal Allah telah berfirman):
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sampai kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].
Ada sebagian ahli ruang angkasa luar, dan sebagian orang yang mengaku berilmu di sebagian saluran televisi, mereka menfatwakan halalnya riba. Sebagian di antara mereka ada yang menfatwakan halalnya nyanyian. Sebagian di antara mereka ada yang menfatwakan halalnya musik. Sebagian lagi ada yang menghalalkan gambar makhluk hidup untuk keperluan yang bukan darurat. Ada sebagian lain yang membolehkan pergaulan campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa ada pembatas apapun.
Kemudian ada pula yang memudahan-mudahkan fatwa tentang bolehnya wajah wanita terbuka. Dalam hal (wajah wanita) ini, dengan penuh rasa hormat kami kepada para imam terdahulu kami yang berpandangan bolehnya wajah wanita terbuka, kami tetap berpandangan bahwa yang benar adalah wajibnya hijab (kain yang menutupi hingga wajah, termasuk mata) bagi wanita, bukan sekedar niqab (tutup wajah yang memperlihatkan mata saja).
Ada lagi di antara mereka yang memudah-mudahkan untuk larut dengan orang-orang kafir serta duduk-duduk bersama mereka dalam jamuan-jamuan yang berisi kekufuran dan minuman keras untuk tujuan persahabatan.
Selanjutnya di antara mereka ada yang memudah-mudahkan untuk berfatwa bolehnya berjabat tangan dengan wanita. Bahkan sebagian mereka sekarang ada yang beranggapan bahwa tidak mungkin suatu majelis akan bermanfaat kecuali jika di dalamnya ada laki-laki dan wanita. Sebagaimana anggapan ‘Amr Khalid dan kawan-kawannya dalam sebuah kelompok “Pencipta Kehidupan”.
Namun siapakah sesungguhnya pencipta kehidupan? Tentu Allah. Dialah Pencipta kematian dan kehidupan. Maka barang siapa yang mengaku dapat mencipta kehidupan selain Allah, berarti a telah mempersekutukan Allah.
Inilah beberapa contoh di antara banyak hal yang terjadi di lapangan tentang fatwa-fatwa dari orang-orang yang memudah-mudahkan urusan. Orang-orang yang lancang dalam menghalalkan perkara-perkara haram.
Golongan kedua, ialah golongan kaum ekstrim (berlebih-lebihan). Yaitu orang-orang yang menfatwakan bolehnya membunnuh kaum Muslimin atas nama jihad. Padahal jihad berlepas diri dari mereka. (Syaikh Shâlih as-Suhaimi selanjutnya memberikan contoh pembunuhan terhadap Syaikh Jamilur- Rahman rahimahullah puluhan tahun lalu. Dibunuh oleh seorang anggota kelompok pejuang Islam dari Arab atas nama jihad. Agar konspirasi dan otak pembunuhan tidak terungkap, maka si pembunuhpun dibunuh).
Demikianlah, kadang-kadang fatwa untuk membunuh, kadang fatwa untuk mencuri, untuk merampok, melakukan kekafiran dan seterusnya.
Di antara contoh fatwa kaum ekstrim ini, ialah fatwa-fatwa yang dikirim dari sebagian orang yang menganggap dirinya berilmu, dimana sebagian di antaranya ternyata adalah para penyembah kuburan. Fatwa-fatwa ini dikirim ke beberapa pemuda kita yang tertipu, tentang bolehnya melakukan peledakan dan bolehnya melakukan perusakan di dalam negeri kaum Muslimin. Mereka beranggapan bahwa ini adalah jalan menuju surga.
Mereka memberikan fatwa ini sebagaimana para pastur gereja memberikan doktrin kepada kaum Nasrani tentang penghapusan dosa. Mereka mengatakan bahwa tidak ada jalan lain bagi kalian untuk masuk surga kecuali dengan membunuh seorang polisi atau membunuh seorang pengawal keamanan, atau bahkan mungkin membunuh siapa saja yang menentang kalian. Sebab mereka berpandangan kafirnya masyarakat secara umum.
Bertahun-tahun mereka memiliki kemampuan untuk dapat melaksanakan beberapa rencana mereka. Bahkan dari tindakan mereka membuahkan hasil berupa peluang bagi orang-orang kafir untuk lebih leluasa melakukan pendudukan dan tekanan ke sebagian negeri Islam, melalui celah yang dilakukan oleh orang-orang Khawarij ini, yang oleh sebagian orang diringankan sebutannya, yaitu mereka hanya disebut kaum teroris. Padahal sebutan yang paling tepat bagi mereka ialah kaum Khawarij.
Mereka menfatwakan bolehnya membunuh orang-orang tak bersenjata, merampas harta-harta milik dan berbuat bengis kepada anak-anak, wanita, orang-orang tua dan orang-orang lemah. Mereka memiliki jaringan-jaringan komunikasi dan situs-situs internet yang mendukung. Mereka ini lebih berbahaya dari golongan pertama. Mengapa? Bukankah kemaksiatan juga merupakan penghubung menuju kekafiran? Terutama bagi orang yang begitu mudah melakukan sebagian perkara haram? Bagaimana mungkin golongan kedua ini dikatakan lebih berbahaya dari golongan pertama? Maksudnya, mengapa golongan ekstrim ini lebih berbahaya dari golongan yang memudah-mudahkan urusan kemaksiatan?
Ya, sebab (golongan pertama) yang menfatwakan bolehnya melakukan perkara-perkara haram, memberikan fatwa hanya karena syahwat (hawa nafsu) saja. Sedangkan (golongan kedua) yang menfatwakan halalnya darah kaum Muslimin, memberikan fatwa karena alasan agama. Inilah letak bahayanya.
Sebab pembawaan kaum Muslimin, meskipun mereka menjadi pelaku kemaksiatan, namun tetap saja mereka membenci golongan pertama (yang memudah-mudahkan dalam membolehkan beberapa perkara haram, pent.).
Sebagai misal, andaikata ada seseorang di antara mereka melakukan kemaksiatan, apakah ia rela jika kemaksatan ini dilakukan anaknya? Tentu tidak. Bahkan andaikata ia melakukan kemaksiatan yang dipandang ringan oleh sebagian orang, seperti merokok misalnya, engkau bisa mendapatinya akan memukul anaknya jika melihat anaknya merokok, padahal ia sendiri pecandu rokok.
Andaikata ia melakukan zina -kita memohon agar Allah senantiasa melindungi kita semua dari perbuatan zina- tentu engkau mendapatinya akan selalu berusaha agar anak-anaknya terhindar dari zina tersebut. Sebab ia melakukan perzinaan itu tidak dengan keyakinan terhadap apa yang ia lakukan, bahkan ia tetap beranggapan bahwa ia telah melakukan dosa besar dan berharap bisa lepas dari perbuatannya. Bukankah demikian?
Akan tetapi, orang-orang yang menfatwakan bolehnya membunuh orang-orang Islam, berpandangan bahwa membunuh ini merupakan agama. Di sinilah letak bahayanya.
Oleh karena itu, Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Barang siapa mengada-adakan bid’ah dalam agama, dan ia memaandangnya hasanah (baik), maka sesungguhnya ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat terhadap risalah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
(Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-sempurnakan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu) – al-Mâ`idah/5 ayat 3- karenanya, apa saja yang pada hari itu bukan agama, maka pada hari inipun bukan agama”.
Karena alasan inilah, engkau mendapati para Salaf sangat keras sikapnya kepada para ahli bid’ah, terutama Khawarij, lebih keras dari sikap mereka kepada para pelaku maksiat.
Tentu tidak diragukan bahwa kemaksiatan amat berbahaya. Kemaksiatan adalah penghubung menuju kekafiran. Akan tetapi bagaimanapun, kemaksiatan-kemaksiatan ini masih lebih ringan daripada bid’ah. Itulah sebabnya, Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada maksiat, karena orang akan mudah bertaubat dari maksiat. Sedangkan bid’ah, orang tidak akan bertaubat daripadanya”
Beliau dan para ulama Salaf lainnya berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ احْتَجَرَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah menghalangi setiap ahli bid’ah dari taubat, sampai ia meninggalkan bid’ahnya.[1]
Maka kita wajib memperhatikan masalah ini. Masalah ifrath (sikap berlebih-lebihan/ekstrim) sangat berbahaya. Sebab, orang-orang yang berlebih-lebihan (ekstrim), ketika melakukan tindakan-tindakan mereka, didasarkan pada keyakinan bahwa tindakan-tindakan itu merupakan tuntunan agama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sehingga mereka dapat mengelabuhi banyak orang. Dari sinilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَيَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا. متفق عليه
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari dada-dada manusia sekaligus. Akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan dimatikannya para ulama. Sehingga manakala Allah tidak menyisakan seorang ‘alimpun, maka orang-orang akan mengangkat tokoh-tokoh yang bodoh. Tokoh-tokoh ini pasti akan ditanya, maka mereka akan berfatwa tanpa ilmu hingga mereka sesat dan menyesatkan.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Tsauban:
إِنَّمَا أَخْشَى عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ (البرقاني)
Sesungguhnya aku hanyalah mengkhawatirkan bagi umatku adanya para imam yang menyesatkan.[3]
Para sahabat Radhiyallahu anhum dahulu, kadang berselisih pendapat dalam suatu masalah. Masing-masing mempunyai arah pandang tersendiri dalam masalah-masalah furu’. Ketika ada seseorang datang kepada mereka untuk meminta fatwa, maka masing-masing sahabat tidak mau langsung memberikan jawaban. Alasannya ada dua:
Pertama, karena masing-masing sahabat menghormati sahabat lainnya. Masing-masing lebih mengutamakan sahabat lain untuk menjawab, dan masing-masing berpandangan bahwa sahabat lain lebih layak untuk berfatwa.
Kedua, karena masing-masing sahabat bersikap wara’ (hati-hati) dalam berfatwa dan memilih untuk tidak tenggelam dalam fatwa.
Ini semua, jika berkaitan dengan masalah furu’. Namun apabila masalahnya menyangkut aqidah, maka mereka tidak pernah tinggal diam selama-lamanya. Mereka tidak mungkin diam sama sekali jika masalahnya sampai menyangkut ‘aqidah atau menyangkut nash Sunnah, atau jika masalahnya sampai pada persoalan bid’ah.
Karena itulah, ketika Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu ditanya tentang makna abban pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (‘Abasa/80 ayat 31):
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Abu Bakar menjawab: “Bumi mana yang dapat kujadikan tempat berpijak, dan langit mana yang dapat menaungiku, apabila aku berkata tentang Kitabullah apa yang aku tidak mengetahuinya”.
Itulah Abu Bakar, padahal siapakah beliau?
Inilah beberapa patah kata yang berkaitan dengan sifat dua kelompok, yaitu : kelomok ekstrim dan kelompok yang memudah-mudahkan urusan.
Saya berharap agar engkau betul-betul memahami dan menyadarinya. Hanya Allah-lah Dzat Pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Shalawat, salam dan barakah Allah, hendaknya senantiasa tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Silsilah ash Shahiihah, syaikh al Albaani, no. 1620, VI/154, dengan lafazh :
إِنَّ اللهَ احْتَجَرَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ
[2] HR al-Bukhâri, kitab al-Ilmi, no. 100. Muslim, kitab al-Ilmi, Bab: Raf’i al-‘Ilmi wa Qabdhihi wa Zhuhur al-Jahli wa al-Fitan, Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha, XVI/441, no. 6737.
[3] Dalam kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahab mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Barqani dalam kitab Shahîh-nya. Lihat Fathul-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, Dar al-Faiha’, Dimasyq dan Dar as-Salam, Riyadh, 1414 H/1993 M. hlm. 234, Bab: Ma Ja’a Anna Ba’dha Hadzihi al-Ummah Ya’budu al-Autsan. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Lihat Shahih Sunan Tirmidzi II/487, Kitaabul Fitan, no. 2229, dengan lafazh :
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2676-bahaya-fatwa-serampangan.html